Suara Salmah di telepon Senin siang itu mengabarkan bahwa bapak sudah meninggal. Memastikan berita itu, aku mengirim pesan singkat ke Ka Tyas. Namun tak kunjung mendapat balasan. Akhirnya aku menelpon Fina. “Iya kak, sekarang langsung ke rumah aja”. Itulah jawaban yang kudapat dari Fina.
Jarkom dari Diana pun kuterima. Aku segera meneruskannya ke semua teman-teman dan beberapa senior yayasan. Siang itu, bendera kuning bertuliskan nama Bapak sudah terpasang di sepanjang jalan Alamanda. Terlihat beberapa orang sedang memasang tenda di halaman depan dan para pelayat yang sudah memenuhi rumah. Jenazah Bapak masih diurus di rumah sakit, Ibu sudah ada di dalam kamar. Beberapa ibu-ibu bergantian masuk ke kamar Ibu. Mengucapkan rasa belasungkawa mereka kepada Ibu. Kami hanya duduk di ruang tamu didepan tempat tidur yang telah disiapkan untuk jenazah Bapak sambil membaca Yasin dengan airmata mengalir di pipi.
Tak lama kemudian, Ibu keluar dari kamar, menghampiri kami dan berkata “Bapak udah ngga ada nak”. Kami pun menghampiri Ibu dan mencium tangan Ibu dengan linangan airmata yang membasahi. Ibu terlihat cukup tegar meskipun kami tahu kenyataan ini tidak mudah bagi Ibu. Ibu, keluarga, kami, dan semua yang mengenal Bapak sangat merasakan kehilangan sosok seorang Bapak Sumardono. Baru saja sehari sebelumnya kami dan anak-anak asuh membacakan doa, memohon untuk kesembuhan Bapak. Tapi apa mau dikata. Dia lebih menyayangi Bapak. Dia ingin Bapak segera bersamaNya.
Bapak suka buah talas dan Bapak suka kue semprong (itu yang kutahu dari Ibu), Bapak pecinta tanaman, Bapak gemar mengoleksi buku, Bapak adalah sosok yang pendiam, sederhana, dan penuh perhatian. Itulah sebagian dari diri bapak yang kuingat. Bapak adalah sosok yang tidak terlalu banyak bicara. Tapi Bapak banyak berbuat. Rak-rak yang dipenuhi buku, Surau Kita, Ruang Saraswati, dan pekarangan belakang rumah yang selalu berubah menjadi saksi bisu akan kreativitas bapak yang tiada henti.
Masih terekam jelas dalam ingatanku. Kejadian yang hampir terulang setiap Minggu, kala kami beristirahat di Ruang Saraswati (Nama pemberian Bapak untuk ruang belakang) selesai mengajar les. Bapak datang menghampiri kami dengan membawa sekardus air mineral dan beberapa bungkus makanan ringan. Entah makanan ringan yang sengaja Bapak beli untuk kami atau oleh-oleh yang dibawa Ibu sekembalinya dari luar kota. Kemudian kami menghampiri Bapak dan bergantian mencium tangan Bapak. Senyum sederhana pun terukir di wajah Bapak.
Bapak juga tidak pernah bosan mengingatkan kami untuk makan. “Ayo makan, ajak teman-temannya”. Tak jarang Bapak menyebut nama kami satu persatu untuk diajak makan. Hal itu terjadi hampir setiap Minggu. Bapak begitu perhatian pada kami. Terima kasih, Pak.
Bapak tidak pernah marah kepada kami. Kami yang tertawa sekencang apapun, suara tawa dan canda seramai apapun yang kami buat, jika melihat kelakuan kami, Bapak hanya tersenyum simpul. Maafkan anak-anakmu ini Pak, yang sering membuat ruang belakang menjadi berisik. Terima kasih atas segala kesabaran dan pengertian Bapak untuk kami.
Bapak begitu rapi. Setiap barang-barang keperluan kegiatan disimpannya dengan baik. Tak jarang kami menanyakan kepada Bapak. Bapak pun tak segan mencarikannya. Tulisan Bapak juga sangat rapi. Beberapa spanduk kegiatan juga ada yang menggunakan huruf cetak hasil karya Bapak.
Pohon sirih yang tumbuh merambat meneduhi ruang kecil tempat Bapak biasa mendengarkan musik khas Jawa dan membaca buku, pekarangan belakang rumah yang dipenuhi oleh beragam tanaman. Ruang Saraswati yang kini sudah dikeramik dan dilengkapi sebuah lemari yang cukup besar menjadi kreasi terakhir Bapak. Bapak yang membuat suasana di pekarangan belakang begitu hidup dan berwarna. Membuat beberapa dari kami terkagum-kagum. Suasana yang selalu berganti, entah berapa kali dalam setahun. Kami selalu menikmati perubahan yang dibuat Bapak, seraya menantikan setiap perubahan yang akan terjadi setelah perubahan sebelumnya.
Saya tidak begitu kenal dekat dengan Bapak. Tapi sosok Bapak terasa begitu dekat. Bapak adalah sosok yang mau membantu meski tanpa diminta. Saya masih ingat, sehari sebelum peringatan ulang tahun AF ke-11. Saat itu saya sibuk mencari taplak meja di lemari belakang. Bapak bertanya, “Cari apa Ris?’” Saya menjawab, “Taplak meja yang bulat Pak, buat meja tamu”. Kemudian tanpa banyak bicara Bapak mengeluarkan taplak-taplak yang ada di lemari membantu mencarikan taplak tersebut. Itulah Bapak. Terima kasih Bapak.
Dini hari sebelum Bapak dibawa ke rumah sakit, 22 Juni 2010. Bapak duduk menunggu Ibu di teras depan rumah. Kami baru saja pulang baksos dari Sragen. Padahal kami tahu saat itu Bapak sedang sakit. Begitu besar cinta Bapak kepada Ibu. Meskipun keadaan Bapak sedang sakit, Bapak tetap menyambut kepulangan Ibu. Kasih sayang itu tergambar nyata. Sungguh indah cinta Bapak dan Ibu. Saling mengerti, saling memahami, dan bersama berbagi. Cinta yang juga diberikan untuk semua anak-anak asuhnya tanpa ada perbedaan. Semoga cinta itu akan menyatukan Bapak dan Ibu kembali.
Dua minggu setelah Bapak dibawa ke rumah sakit, kami baru dibolehkan menjenguk Bapak karena kondisi Bapak sudah mulai membaik. Tak banyak kami berbincang karena memang Bapak masih butuh istirahat. Kamar 808 rumah sakit Pasar Rebo, 3 Juli 2010. Tubuh Bapak terlihat begitu kurus, kulit Bapak juga kering. Melihat keadaan Bapak saat itu, airmata ini terasa ingin mendesak keluar namun tertahan. Malam itu suasana kamar Bapak cukup ramai. Banyak yang datang menjenguk Bapak. Kami pun memutuskan untuk menunggu diluar kamar. Hingga pukul 19.15 kami akhirnya memutuskan untuk pamit. Kami bergantian mencium tangan Bapak. “Cepet sembuh ya Pak”, itulah ucapan yang keluar dari bibir kami. Kami juga pamit kepada Ibu dan Bu Masnah yang kebetulan datang juga menjenguk Bapak malam itu.
Siang hari, 17 Juli 2010 saya bersama Salmah dan Ka Herman datang menjenguk Bapak. Menemani Ka Herman yang belum sempat menjenguk waktu itu. Siang itu hanya ada Bapak dan Pak Min di kamar rumah sakit. Kemudian Pak Min izin ingin mencari makan ke bawah dan kami yang menjaga Bapak siang itu. Kondisi Bapak terlihat membaik sehingga kami dapat berbincang cukup banyak dengan Bapak. Terlihat Bapak mengoleskan minyak kayu putih ke daerah perutnya. Tak lama kemudian ada petugas yang membawakan makan siang untuk Bapak disusul petugas yang memeriksa kondisi Bapak. Bapak akan diperiksa lagi siang ini. Menunggu dokter yang akan memeriksanya. Jika hasilnya membaik, Bapak akan dibawa pulang dan dirawat di rumah. Itulah kabar yang aku dengar siang itu. Senangnya hati ini melihat kondisi Bapak sudah membaik. Siang itu, Bapak menikmati makan siangnya dibantu oleh Pak Min. Bubur, telur rebus dengan sedikit kuah, sayur, dan buah apel diiris kecil sebagai menu makan siang Bapak hari itu.
Lagi-lagi perhatian Bapak terhadap kami (anak-anaknya di yayasan) terlihat. Di saat kondisi terbaring di tempat tidur rumah sakit, Bapak masih sempat menanyakan bagaimana kuliah anak-anaknya. “Zaki, gimana skripsinya?” pertanyaan itu terucap dari bibir Bapak. “Lulus, Pak” Sahut Salmah. Lafaz hamdalah terucap dari bibir Bapak disertai senyum sederhana terukir di wajahnya. Selepas Asar kami bertiga pamit. Sudah ada Ibu yang menemani di sisi Bapak. Kami pun mencium tangan Ibu dan Bapak bergantian. ”Semoga cepet sembuh ya Pak”, harapan dan do’a kami untuk Bapak.
Beberapa hari kemudian aku mendengar bahwa Bapak sudah dibawa pulang ke rumah. Namun keadaan itu tidak berlangsung lama. Kondisi Bapak menurun sehingga Bapak harus dibawa ke rumah sakit lagi.
Belum sempat kami menjenguk Bapak lagi. Bapak sudah dipanggil olehNya. Tak disangka pertemuan dengan Bapak siang itu adalah pertemuan terakhir dengan Bapak. Terakhir kali mencium tangan Bapak, terakhir kali berbincang dengan Bapak, mendengar suara Bapak, melihat senyuman Bapak, dan perhatian Bapak.
Bapak kini sudah tiada. Bersama Sang Pemiliknya.
Bapak sudah mempunyai rumah baru. Amal baik Bapak selama hidup akan menemani Bapak sehingga Bapak tidak kesepian di sana, membuat ruang sempit itu terasa luas dan diterangi oleh cahaya kebaikan. Bapak sudah bersama Sang Pemiliknya, yang mencintai Bapak melebihi kami di dunia ini. Bapak dan Mbak Anggi sudah berada disisiNya. Hari ini, 7 hari sudah Bapak meninggalkan kami. Namun kami masih merasa Bapak berada bersama kami. Kami masih dapat merasakan kehadiran Bapak. Kebaikan, ketulusan, perhatian, kasih sayang, kesabaran, dan segala kenangan bersama Bapak, akan membuat Bapak tetap hidup di hati kami, dalam ingatan kami, dan akan membuat kami tetap merasa dekat dengan Bapak. Kami disini hanya bisa mengirimkan do’a, mengenang kebaikan Bapak selama hidup, dan semoga kami dapat meneruskan kebaikan-kebaikan Bapak selama kami masih hidup di dunia ini. Kami juga menunggu panggilanNya. Semoga kelak kita dipertemukan disisiNya.
Bapak Sumardono
04 Agustus 1944 - 26 Juli 2010
Mengenang Bapak Sumardono
Minggu, 01 Agustus 2010
23.45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar